3.20.2009

Amoral yang Membudaya

Seseorang pernah merasa kaget dengan situasi di tempat kerjanya pada bulan pertama ia bekerja di sebuah kantor advokad ternama. Ia tidak pernah membayangkan akan masuk di dunia kerja dimana putih bisa menjadi hitam atau sebaliknya. Bahkan samar, menjadi abu-abu.

Ia melihat kenyataan bahwa di dunia hukum tersebut, para praktisinya, yang ia lihat tentu saja, melakukan praktek-praktek yang sebenarnya berlawanan dengan kode etik mereka dimana seharusnya hukum dijunjung tinggi. Cukup sepele sebenarnya. Sebut saja memalsukan tanda tangan untuk Laporan Semester Perusahaan PMA, klien mereka, ke Badan Koordinasi Penanaman Modal, mengganti ijasah seseorang yang semula menempuh pendidikan di Asia dengan ijasah keluaran Eropa untuk pengurusan KITA’s dan ijin bekerja di Indonesia, penyerahan uang terima kasih ke pejabat pemerintahan untuk pengurusan dokumen, dan sebagainya.
Ketika ia bertanya kepada atasannya, ia memperoleh jawaban bahwa sebenarnya semua itu melanggar hukum meski kadarnya berbeda-beda. Pemalsuan tanda tangan, misalnya, masih bisa ditolerir sebatas diketahui oleh PMA yang bersangkutan, toh, tak ada pihak yang dirugikan. Sedangkan untuk uang terima kasih, ia mendapat jawaban bahwa itu sudah menjadi kebiasaan dan susah untuk dihindari.
Tentu jawaban-jawaban tersebut sangat tidak memuaskan, baik untuk orang yang bertanya maupun orang yang masih mau memikirkan nasib orang lain di sekelilingnya yang tidak mampu di bidang ekonomi. Karena jika dirunut benang merahnya, pelanggaran-pelanggaran seperti tadi secara tidak langsung akan merugikan rakyat Indonesia pada umumnya.
Terkait contoh di atas, kita bisa maklum jika pelaporan ke BKPM dikerjakan oleh kantor Lawyer yang memberikan layanan jasa secretarial sebatas informasi yang diperoleh dari PMA telah sesuai dengan kondisi sebenarnya. Mengingat biasanya PMA menyerahkan sepenuhnya kepada penyedia jasa untuk mengurus pelaporan. Sedangkan penyedia jasa, karena tak mau repot dan berpikir segera memperoleh fee, akan mengerjakan laporan tersebut secara asal tanpa mau tahu apakah sesuai dengan realita atau tidak. Plus pemalsuan tanda tangan dari penanggung jawab PMA selaku pemberi laporan ke pemerintah (BKPM) dengan alas an tempatnya jauh.
Jawaban yang dipaparkan oleh atasan orang tadi sebenarnya memberikan sebuah tanda tanya besar. Mengapa ia menjawab tidak ada yang dirugikan? Jika hanya diihat dari segi penyedia layanan dan PMA yang bersangkutan, tentu saja hal tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi ketika dikaitkan dengan system yang lebih besar, yaitu Negara, maka mau tak mau akan menimbulkan dampak negative.
Pelaporan posisi modal terakhir, yang menjadi salah satu item pelaporan, yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya bisa jadi mengurangi pemasukan Negara dari sektor pajak karena besar kemungkinannya modal yang dimiliki PMA mengalami kenaikan selama proses produksi. Dan siapa yang lebih dirugikan ketika pajak Negara tidak dibayarkan jika bukan rakyat?
Rakyat disini menduduki posisi yang sangat lemah. Dalam bahasa umum, rakyat adalah setiap orang yang bertempat tinggal dan bekerja di suatu wilayah serta telah menjadi penduduk setempat dengan memiliki hak dan kewajiban. Ketika dipersempit lagi dengan konteks Negara Indonesia, yang menjadi rakyat Indonesia adalah setiap orang yang bertempat tinggal, bekerja, dan menjadi warga Negara Indonesia, termasuk para penyedia jasa tadi. Dan berarti pula bahwa para penyedia jasa tadi sebenarnya menjerumuskan diri mereka sendiri ke jurang kehancuran, walau tanpa mereka sadari dan dampaknya belum tentu dapat dirasakan dalam waktu dekat.
Contoh-contoh kasus di atas juga sangat merugikan rakyat Indonesia di bidang perekonomian dimana angka pengangguran tak mau merangkak dari angka 10 juta. Seharusnya lapangan pekerjaan yang dituju klien kantor advokad tadi bisa diduduki oleh warga Negara Indonesia sendiri yang kualifikasinya belum tentu lebih rendah dari tenaga kerja asing.
Ironis memang. Indonesia yang dikatakan gemah ripah loh jinawi, kaya akan sumber daya tetapi tidak bisa mensejahterakan rakyatnya. Sebagian kekayaan alamnya malah dinikmati oleh investor-investor asing yang pada awalnya menjanjikan harapan peningkatan kehidupan masyarakat meski harapan itu jarang mereka penuhi, kecuali dampak negative seperti contoh kecil yang dialami warga sekitar lokasi PT Freeport dan Teluk Buyat.
Tulisan ini tidak semata menyoroti bidang hukum yang ternyata banyak dilecehkan oleh orang-orang yang berkecimpung di dalamnya atau hanya menyoal banyaknya PMA yang kurang bertanggung jawab terhadap masyarakat yang sumber dayanya dimanfaatkan. Namun lebih cenderung menyoroti persoalan amoral yang banyak dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri, baik sadar atau pun tidak.
Saat ditarik kesimpulan dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan berdasi, baik pegawai pemerintah maupun swasta atau pun masyarakat biasa lainnya, seperti pemalsuan-pemalsuan di atas disebabkan karena propaganda budaya hedonis dari barat yang hanya memikirkan kenikmatan dunia tanpa mau memperhatikan sisi-sisi buruk yang bakal ditimbulkan. Kenikmatan dunia tentu saja tidak bisa diperoleh begitu saja tanpa uang dan untuk memperolehnya dalam waktu singkat, penipuan, pemalsuan, dan sejenisnya menjadi alternative pilihan.
Maka tak heran ketika di media massa membicarakan masalah KKN dan penipuan-penipuan lain terhadap rakyat. Kasus terakhir yang diekspos besar-besaran adalah masalah korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan yang dananya dikatakan disebar ke segala penjuru mata angin, mulai dari pejabat Negara, politisi, partai politik sampai rakyat biasa.
Itu hanya satu contoh di samping penggelapan dana abadi umat yang terjadi di lingkungan departemen agama dan contoh-contoh lain. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah : Kok bisa, korupsi terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjadi Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia? Bukankah seharusnya dengan ikatan agama tersebut ditambah lagi dengan adat ketimuran yang menjunjung sopan santun, kesusilaan, dan moral sebagai sesuatu yang agung, orang-orang Indonesia lebih berhati-hati untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang merugikan diri sendiri,orang lain dan Negara?
Namun realita yang terjadi berlawanan dengan yang seharusnya. Barangkali adat ketimuran yang katanya sangat dijunjung tadi hanya ungkapan kaum utopis yang berusaha mengingkari kenyataan yang terjadi. Terbukti Indonesia dinobatkan menjadi salah satu Negara terkorup di dunia.
Hukum bisa dipermainan dengan mudahnya oleh kalangan berduit. Penjahat kelas kakap bebas melenggang di luar bui setelah membayar uang tebusan. Orang-orang berduit ini bisa dengan mudah membeli hukum dan bersembunyi di bawah ketiak hukum dan aparatnya. Pada akhirnya mereka tidak merasa takut untuk melakukan suatu kejahatan besar. Lantas bagaimana dengan nasib rakyat kecil yang sebenarnya tidak bersalah namun karena hukum telah dibeli oleh kaum borjuis, sehingga kaum papa ini menjadi lebih tertindas.
Sebenarnya semenjak lahir, manusia telah dianugerahi hati nurani oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai alat control internal yang mampu membedakan mana yang baik dan boleh dilakukan serta yang tidak boleh dilakukan. Sayangnya akhir-akhir ini, hati nurani menjadi tidak berfungsi. Kedudukannya bergeser digantikan oleh uang dan kroni-kroninya. Akibatnya manusia tidak bisa berpikir jernih dan tak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai-nilai moral yang banyak bersinggungan dengan hati nurani menjadi sangat terabaikan dan muncullah tindakan-tindakan tidak terpuji seperti KKN, penipuan, pemalsuan dan lain sebagainya.
Selain Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia dulu, sebenarnya kita juga memiliki andil atas keberlangsungan tindak kejahatan yang sama sekali tidak bermoral itu. Selama ini tak banyak orang yang mau melawan dan mendobrak system tinggalan colonial tadi. Sebagian besar membiarkan bahkan memberikan tarikan-tarikan liar yang dipungut oleh pegawai pemerintahan seperti uang terima kasih tadi. Sadar atau tidak, uang itu tidak layak diterima sebab oknum-oknum tadi telah digaji tersendiri untuk melakukan tugas-tugas melayani rakyat yang dananya diambilkan dari pajak Negara.
Bahkan kemudian masyarakat seperti memberi permakluman terhadap sikap amoral yang terjadi. Mereka bersikap apatis dan hanya berpikir supaya urusan mereka segera selesai dengan membayar uang sekian rupiah tanpa berpikir bahwa mereka juga memiliki peranan besar terhadap menurunnya kualitas SDM dan tingkat penghidupan di Indonesia.
Korupsi, kolusi, nepotisme buta, penipuan, pemalsuan dan tindak amoral lain seakan telah menjelma sebaga sebuah rantai setan yang sulit untuk dimusnahkan hanya dengan mengandalkan beberapa institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, ICW, Kehakiman, Kejaksaan, dan sejenisnya. Kita juga tahu bahwa Departemen terakhir yang disebutkan di atas malah seperti melegalkan tindak amoral tersebut. Terbukti tingkat korupsi yang terjadi di Departemen Kehakiman dan HAM menduduki peringkat tertinggi dimana kasus suap menyuap menjadi rahasia umum dan sudah biasa. Bahkan berkembang pula di kalangan masyarakat seloroh tentang praktisi hukum “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar”. Putusan benar atau salah seakan bermuara pada besar kecilnya uang yang disetorkan pada oknum-oknum di institusi terkait.
Untuk itulah diperlukan peran serta setiap elemen masyarakat untuk memutus rantai setan budaya amoral tadi sehingga permasalahan bangsa tidak lagi berkutat di persoalan KKN. Setiap elemen harus mampu berkata tidak setiap kali diajak untuk melakukan kejahatan amoral meski dengan iming-iming imbalan besar. Namun pertanyaan terakhir yang belum bisa dijawab adalah : Mampukah masing-masing dari kita memiliki nurani dan moral yang kuat untuk menolak iming-iming yang diberikan?

Tulisan lain:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar