1.25.2009

Pemberantasan Korupsi Mulai dari Bawah

Sudah menjadi rahasia umum jika konsumen bahan bakar minyak sering merasa kecewa dengan pelayanan di beberapa SPBU. Konsumen merasa dipermainkan oleh petugas lini depan. Contohnya, digit harga menunjukkan angka 13650 saat seorang konsumen membeli premium. Artinya sang konsumen harus membayar Rp 13.650 sesuai yang tertera. Kenyataannya, terkadang konsumen tidak mendapat kembalian ketika membayar dengan pecahan Rp 20 ribuan atau nominal di atasnya. Petugas membulatkan harganya menjadi Rp 14.000 dengan alasan tidak ada pecahan sebagai kembaliannya. Dalam kasus ini, kebanyakan konsumen akan berlalu begitu saja dengan perasaan dongkol, disebabkan ia sedang dikejar waktu atau beberapa konsumen dermawan merelakan begitu saja. Hanya beberapa orang yang tetap ngotot meminta haknya dan akhirnya dilayani dengan dongkol pula oleh petugas SPBU.

Dilihat dari nominalnya, uang sebesar Rp 350 tidaklah seberapa. Untuk membeli gorengan pun tak akan cukup. Kalau toh ada yang menjual dengan harga sekian, biasanya konsumen sendiri yang akan malu untuk membeli. Namun ketika kita kalikan dengan banyaknya konsumen BBM yang mampir di SPBU, hasilnya tentu akan menjadi besar. Jika dikalikan dengan 200 konsumen tiap harinya, misalnya, nilainya akan menjadi Rp 70 ribu. Dalam satu bulan nilainya bergerak ke angka Rp 2,1 juta dan dalam jangka waktu satu tahun SPBU akan memperoleh uang panas Rp 25,2 juta. Angka tersebut berasal dari satu SPBU saja. Di Bali dan Nusa Tenggara sendiri terdapat 4,4 persen dari total 3.157 SPBU di Indonesia pada tahun 2005 (warta ekonomi.com) atau sekitar 138 SPBU. Tidak menutup kemungkinan jumlahnya mengalami peningkatan di tahun 2007 ini. Ketika dikalikan Rp 25,2 juta dengan jumlah SPBU di Bali akan diperoleh angka Rp 3,4 milyar. Angka tadi merupakan uang panas, dalam wujud riilnya, sebagai hasil dari tindak kecurangan terhadap konsumen SPBU. Pertanyaannya kemudian, ke manakah larinya uang panas tersebut? Masuk kantong petugas di SPBU-kah, pemilik SPBU atau ke mana? Jika larinya memang untuk kesejahteraan sosial, misalnya pemberdayaan ekonomi lemah, sekolah gratis, fasilitas kesehatan murah, dan kegiatan filantropi lainnya, masyarakat masih bisa menerima. Sayangnya masyarakat/konsumen sendiri tidak tahu ke mana dibawa larinya uang tersebut.

Bagi konsumen, ini menjadi sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi, konsumen ingin mendapatkan haknya. Meski hanya sekian rupiah. Ketika menuntut haknya untuk dipenuhi, raut muka masam dan embel-embel pelit akan diperoleh konsumen. Namun ketika membiarkan hal ini terus berlangsung, secara tidak sadar, konsumen telah memberikan semacam legalisasi terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi di masyarakat. Karena ini bisa saja menjadi cikal bakal munculnya korupsi kecil-kecilan, dan apabila dibiarkan berlarut-larut akan memjadi korupsi dalam skala besar.

Pertamina sendiri mengungkapkan bahwa program ini adalah usaha Pertamina dalam melakukan pembenahan terhadap pelayanan SPBU untuk menjamin kepuasan pelanggan dengan fokus pada ketepatan takaran, kualitas, serta pelayanan dari operator. Namun sampai saat ini, jumlah SPBU Pasti Pas! masih sangat jauh dari jumlah ideal. Dari keseluruhan SPBU di Indonesia, penerima predikat Pasti Pas! baru 80 unit. Di Bali sendiri hanya tiga SPBU yang telah teruji ketepatan takaran, pelayanan dan kualitasnnya sehingga memperoleh predikat tersebut. Satu di antaranya berada di Jalan Mahendradata, Denpasar. Sedangkan selebihnya berada di kawasan Ubud. Ironis memang, dengan jumlah SPBU di Denpasar yang lebih banyak dibandingkan wilayah lain, tetapi hanya satu unit yang benar-benar mengutamakan kepentingan konsumen. Apakah ini menjadi pertanda bahwa kita sebagai masyarakat turut mempersilahkan korupsi terus mengakar dan menjadi amoral yang membudaya di lingkungan kita dengan hanya diam, tanpa bertindak apa-apa?

Adanya program Pasti Pas! yang diluncurkan Pertamina ini patut kita hargai dan hendaknya bisa diambil hikmahnya oleh elemen masyarakat lain. Harus kita sadari bahwa program tersebut merupakan pembenahan kinerja dan manajemen di lingkungan Pertamina dan afiliasinya, sehingga pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola Pertamina, dalam hal ini adalah Bahan Bakar Minyak menjadi tepat sasaran, memberikan keuntungan pada masyarakat dan Negara, serta tidak lagi digerogoti oleh tikus-tikus koruptor yang bermain dengan uang Negara.

Ke depannya, diharapkan bukan hanya Pertamina yang gencar mengevaluasi kinerjanya dalam memberikan pelayanan prima kepada konsumen, khususnya dan masyarakat pada umumnya. Namun, diharapkan juga kepada instansi dan lembaga lain bahkan ditujukan juga tiap individu untuk berbenah memberikan kontribusi yang terbaik kepada bangsa dan negara. Bukan hanya sekadar memberikan masukan, kritik dan saran atau malah ikut-ikutan menikmati uang yang bukan haknya, tetapi juga langsung bergerak secara nyata dalam mewujudkan reformasi menuju Indonesia yang lebih baik. (Dennis Lexitria) Posted on Bali Post, Juli 2007

Tulisan lain:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar