Tap..trap..tap..tap..! Sol sepatuku berbunyi ketika bergesekan dengan lantai. Setengah berlari, kususuri lorong rumah sakit terbesar di Denpasar. “Permisi..permisi!”
Nafasku tersengal, naik turun. Dada ini sesak, nyeri. Namun aku tak peduli. Aku terus saja menghentakkan langkahnya menuju loket asuransi. Ini adalah yang kesekian kalinya aku mondar-mandir di rumah sakit yang dulu pernah kebanjiran pasien korban bom Bali setelah kantorku yang bergerak di bidang sosial mendapatkan tamu yang meminta bantuan, beberapa hari yang lalu.
Dengan tersedu, seorang bapak meminta tolong ke kantorku untuk meringankan biaya pengobatan anaknya yang mencapai angka puluhan juta rupiah. Sementara ia sendiri bekerja serabutan setiap harinya dengan hasil yang tak menentu pula. Ada yang dimakan untuk keluarganya saja sudah beruntung. Apalagi sekarang ia harus menanggung hutang ke rumah sakit yang sedemikian besarnya.
Pasien kecil yang telah membuatku terenyuh dan menjadikanku terikat secara emosi. Kondisi yang mengenaskan karena hatinya terserang kista menyadarkanku bahwa nikmat Tuhan yang diberikan padaku sungguh tiada tara besarnya. Berbeda dengannya yang harus terbaring di ranjang dingin rumah sakit dengan badan terbalut kulit tipis tanpa daging, aku masih bisa beraktifitas, masih diberikan nikmat sehat yang harganya akan sangat mahal jika dibandingkan dengan harta kekayaan. Aku masih bisa membagi cinta yang diberikan Tuhan kepadaku dengan orang lain.
Ya, aku memenuhi panggilan jiwaku untuk mencintai sesamaku, bekerja di sebuah lembaga amil zakat sebagai koordinator bidang kesehatan. Mengabaikan kondisiku yang kian hari bertambah lemah. Tak mengindahkan larangan dokter supaya sel-sel parasit yang menyerang tubuhku tak bereaksi dengan cepat. Sekedar puaskan hati mengisi hidup yang tak lama lagi. Mencoba berguna bagi orang lain dan bersiap serahkan nyawa jika diminta. Ah..bukankah memang itu yang kucari sejak dulu. Rindu hati ini segera bertemu...
Di depan loket asuransi kuhentikan langkah sejenak. Mengatur nafas sebelum mengutarakan niat pada pegawainya yang terlihat ogah-ogahan melayani. Nafas memburu turun satu-satu. Mantap kulangkahkan kaki. Seulas senyum kupersiapkan. ”Pagi, Bapak.”, sapaku. Bapak itu mengangguk, tersenyum sekilas. ”Pak, saya dari lembaga sosial. Ada pasien saya yang dirawat disini. Mereka kesulitan biaya, Pak. Kemarin sempat mengurus surat keterangan tidak mampu tapi itu sudah lebih dari 3 hari. Menyalahi prosedur asuransi sebenarnya. Kira-kira pihak asuransi masih bisa bantu nggak, Pak?”
Bapak itu menatapku. Sesaat ia terdiam. Menghela nafas. “Asuransi hanya bisa membantu sebelum tiga hari semenjak pasien masuk ke rumah sakit, Dik. Setelah itu menjadi urusan pihak rumah sakit. Sebaiknya dik langsung menghadap ke direktur keuangan saja. Tempatnya di lantai dua. Tanya saja di informasi.” Lalu bapak itu kembali menunduk, kembali menekuni berita olah raga di koran paginya
Aku tersenyum kecut. “Terima kasih infonya, Pak.” Pegawai asuransi itu diam saja. Tidak juga menatapku yang beranjak pergi sambil menekur lantai. Rasanya ingin mengomel sepanjang jalan. Tapi buat apa? Toh tak ada gunanya. Pegawai asuransi tadi memang sudah terikat dengan aturan.
Kudongakkan kepala. Menatap langit sejenak. Seperti yang biasa kulakukan ketika pikiran dan hatiku tak karuan. Belajar berlapang dada, selapang langit dan belajar tenang tanpa amarah, sebiru langit.
Kuhela nafas panjang dan berat. Kemudian kuhembuskan pelan-pelan sambil menetralkan perasaan. Dan aku kembali melangkah menuju ruang direktur keuangan rumah sakit.
Ruangan salah satu pimpinan rumah sakit yang dingin tak membuat hatiku menjadi sejuk. Telingaku panas. Kepala mendidih ketika kudengar kata-kata penolakan dengan alasan kebijakan rumah sakit dari orang yang seharusnya dengan ringan hati membantu sesamanya yang kesusahan. Huah!! Ribet! Kenapa tak ada yang terketuk hatinya? Kenapa membantu orang harus memakai jalan yang berbelit-belit?
Segera kutinggalkan ruangan yang membuatku gerah sekaligus geram itu. Mukaku benar-benar panas menahan amarah. Ruang tunggu di depan apotik menjadi tujuanku untuk sedikit melepas gundah. Meredakan gusar dengan beberapa teguk air.
Hp di sakuku bergetar. Kuambil dengan malas. Ternyata kantor yang menelpon. Hmm...panggilan darurat apa lagi nih? Batinku. Kupencet tombol reply, ”Assalamu’alaikum.”
Terdengar balasan salam dari sana. ”Masih di rumah sakit, Pak. Belum ada hasil. Dari tadi ditolak terus.” Sahutku lesu ketika atasanku menanyakan posisi dan hasil yang telah kuperoleh. Namun semangatku kembali menjulang ketika kudengar berita yang sangat menggembirakanku. Aaa...alhamdulillah! teriak hatiku girang. Kabar itu terdengar sangat merdu di telingaku. Atasanku mengatakan ada donatur, namanya.....tak mau disebut, bersedia menanggung semua biaya pengobatan. Aku tak perlu lagi melakukan negosiasi berbelit-belit untuk keringan biaya. “Ya, Pak. Saya segera kesana.”
Senyuman terkembang di bibirku. Aku segera beranjak. Langkahku semakin lebar, hampir setengah berlari menyusuri koridor menuju tempat motor tuaku diparkir. Kerumunan orang tak kupedulikan. Kuterobos begitu saja. Keringat yang membasahi dahi dan tubuhku tak kuhiraukan. Aku terus saja bergegas menuju tempat yang diintruksikan oleh atasanku.
Tiba-tiba, pandanganku berkunang-kunang. Reaksi protes tubuh jika kuajak bekerja terlalu keras tanpa istirahat yang cukup. Tubuhku meringan. Rasanya aneh. Aku tak bisa mengontrolnya. Lalu semuanya gelap.
Brukk!!
***
Epilog
Seorang gadis berusia 8 tahun duduk di depan pusara merah. ”Mbak, Caca sudah sembuh sekarang. Kemarin selang Caca dicabut pak dokter. Sekarang bisa main lagi, sekolah lagi. Terima kasih, mbak. Bonekanya masih Caca simpan. Caca janji akan rajin belajar supaya nilainya bagus semua. Caca mau seperti mbak. Nilainya bagus terus dapat beasiswa. Supaya bapak nggak bingung lagi.”
Sementara seorang bapak berdiri di sebelahnya. Menyaksikan putri kesayangannya berbicara di depan nisan orang yang membantu proses kesembuhannya, dengan berlinang air mata.
“Mbak, Caca pulang dulu ya. Besok Caca mau ujian. Doakan Caca bisa menjawab soal-soalnya ya. Habis ujian, Caca datang kesini lagi deh. Caca doakan semoga mbak tenang di sana.“ Gadis itu mengusap nisan putih di depannya. Ia beranjak mendekati bapaknya yang segera menghapus buliran air di mata. Bapaknya tersenyum, menggandeng tangan gadis kecil itu dan melangkah menjauhi makam yang baru dikunjunginya.
Bunga kamboja tersenyum melihat kejadian itu seraya berkata pada penghuni pemakaman yang baru. ”Selamat datang, Anti. Akhirnya yang kau rindukan selama ini datang juga. Kami menyambutmu. Semoga Ia mengampuni semua kesalahan yang kau perbuat dan membalas cinta yang selalu kau upayakan untukNya.”
Kuntum-kuntum putih itu mengangguk-angguk dihembus angin. Menampilkan tarian selamat datang. (Dennis Lexitria)Posted on Madani, Desember 2006
mmmm....opo yoo...bakwan malang...uuuueeenak tenan...
BalasHapus