3.02.2009

Bukan Malaikat

Ciittt!!!
Derit rem kendaraan yang ditekan kuat tiba-tiba. Kalila menghentikan motornya, yang sedari tadi dipacu entang tanpa arah pasti , tak jauh dari sebuah rumah.
Ia tak segera masuk ke dalam rumah itu. Kalila masih duduk mematung di atas jok motor kesayangannya. Bimbang. Bingung menentukan sikap antara masuk ke dalam rumah bercat putih tersebut kemudian menyapa penghuninya, seperti yang biasa ia lakukan, ataukah memutar motornya menjauhi tempat itu dan memacunya tanpa arah kembali.
Ada raut sedih di wajah manisnya. Tak seperti Kalila biasanya yang selalu terlihat cerah, selalu tersungging senyum di sudut bibirnya. Senyum itu hilang entah kemana. Mungkin dicuri bulan bintit di kaki langit. Olala…ada apa dengan Kalila ?
Gadis berlesung pipit itu mendongak ke langit, perlahan dengan mata terpejam.
‘Bismillah’ bibir mungilnya komat-kamit menggumamkan asma Alloh.
Kalila menarik nafas panjang. Kemudian ia hembuskan kuat-kuat. Ujung bibirnya ditarik paksa, membentuk ulas senyum dan ia pun beranjak menuju beranda rumah di depannya.

Seorang gadis berkerudung hitam terlihat sedang duduk di sebuah kursi panjang. Ia tampak kaget melihat kedatangan Kalila yang tiba-tiba, tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
‘Assalamualaikum’, sapa Kalila padanya.
‘Wa’alaikumsalam’, meski terkejut, tak urung gadis itu tersenyum menyambut kedatangan Kalila. ‘Mbak Kalil dari mana ?’
‘Dari jalan’, jawab Kalila sambil menghenyakkan pantat di sebelah gadis itu. ‘Gimana kabarmu, dik ? Sehat ?’
‘Alhamdulillah, Dinda baik. Sehat.’, Gadis yang ternyata bernama Dinda itu kembali tersenyum tap tak lama. Sebentar kemudian senyumnya tiba-tiba menghilang. ‘Mbak Kalil mau marah sama Dinda , ya ? ‘, tanyanya hati-hati dengan muka ditekuk, tertunduk.
Kalila menoleh padanya. Tersenyum geli. ‘Lho, memangnya Dinda melakukan kesalahan apa? Kenapa mbak Kalil mesti marah?’ Kalila menghentikan perkataannya, mengelus kepala di depannya itu penuh sayang. ‘Mbak Kalil ke sini karena ingin tahu kabar Dinda.’
Dinda menatap mata Kalila. Mencari kebenaran kata yang barusan didengarnya melalui sorot mata Kalila.
‘Atau...Dinda mau mbak Kalil marah?’ goda Kalila.
‘Jangan! Dinda nggak mau dimarahi mbak Kalil.’, teriak Dinda manja. ‘Beneran nih, nggak marah sama Dinda?’ tanyanya kemudian. ‘kalau mbak Kalil mau marah, marah aja. Dinda pasrah. Lebih baik sekarang daripada nanti....”
Kalila tertawa kecil melihat sikap Dinda, gadis seusia adik kandungnya yang kebetulan berada jauh dari matanya. “Kamu ini...lucu ah. Orang datang baik-baik kok disuruh marah-marah. Ada apa sih, dik?” ditatapnya gadis itu, lekat.
“Mbak Kalil pasti sudah tahu cerita tentangku.”, jawabnya dengan muka kembali tertunduk.
Kalila terdiam. Tak menyahut.
“Ceritaku sudah jadi rahasia umum. Kupikir, tanpa Dinda harus cerita, mbak Kalil sudah bisa menebak yang mana.”
Kalila masih terdiam.
“Mbak Kalil....”
Kalila mendesah pelan, “Oh, yang itu...”. ada getir dari nada suaranya. Mata bulat yang biasanya berseri-seri itu meredup, berkaca-kaca. Genangan air di pelupuk matanya siap meluncur deras tapi ditahannya kuat-kuat.
“Maaf, mbak. Dinda mengecewakanmu.” Dinda membenamkan wajah ke pangkuannya sendiri lalu terisak. “Dinda nggak seperti yang mbak Kalil bayangkan.”
Kalila tersenyum pahit. “Dinda tahu darimana tentang pikiran mbak Kalil? Selama ini mbak Kalil nggak pernah bilang ke Dinda, kan? Juga orang lain.”
Gadis di depannya masih terisak.
“Mbak Kalil nggak punya hak untuk marah sama Dinda. Buat apa?”, lanjut Kalila. Ditolehnya Dinda. “Mbak Kalil nggak mau ikut-ikutan orang lain yang sedang menghakimimu. Toh, siapa mbak Kalil ini? Mbak Kalil bukan Tuhan yang berkuasa menjatuhkan hukuman. Juga bukan malaikat yang tak punya salah. Kita semua pernah melakukan kesalahan, sadar atau tidak. Mbak Kalil ingin menjadi baik seperti orang lain yang baik. Jika Dinda merasa punya salah, apapun itu, ayo kita perbaiki sama-sama.”
“Mbak....”
“Mbak Kalil Cuma ingin menjagamu. Nggak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu.” Kalila menghela nafas. “Kita ini orang rantau, dik. Jauh dari keluarga besar masing-masing. Keluarga yang paling dekat di sini adalah teman-teman kita. Itulah mengapa mbak Kalil mengganggapmu seperti saudara mbak Kalil sendiri. Terlebih Dinda juga seiman dengan mbak Kalil. Itu merupakan alasan kuat juga buat mbak Kalil untuk menjagamu.”
Suara jengkerik di sebelah rumah merusak hening. Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Mbak Kalil dengar berita nggak enak tentangmu.” Suara Kalila memecah diam. Matanya menerawang ke depan.
“Dari siapa, Mbak?” tanya Dinda sembari memainkan ujung jilbabnya. “Lagipula mbak Kalil pernah lihat sendiri orangnya.”
Lagi-lagi suara jengkerik mendominasi suasana. Sesekali terdengar gesekan telapak tangan mengusap kelopak mata. Pelan sekali.
“Kok mbak Kalil jadi sentimentil begini ya?” ucap Kalila dengan tertawa dipaksakan. Ia terkekeh-kekeh garing.
“Ah, mbak Kalil...jangan pura-pura gitu dong. Dinda merasa tambah bersalah nih.”, rengek Dinda dengan pandangan sedih. “Marahin Dinda aja deh. Jangan pakai topeng sedih lagi, ya.”
“Sedih apa? Mbak Kalil nggak sedih. Ini buktinya. Mbak Kalil bisa tersenyum kan?”, Kalila meringis, menunjukkan gigi gingsulnya. Ia berusaha untuk bercanda di depan Dinda meskipun sebenarnya ia tak bisa membohongi hati nuraninya bahwa ia sedang menyimpan kesedihan yang dalam.
“Mbak Kalil juga tidak sedang pakai topeng. Ini kulit asli.”, lanjutnya sambil mengusap-usap wajahnya. “Pegang deh kalau Dinda nggak percaya.” Ia menarik tangan Dinda ke wajahnya.
“Benar kan, kulit asli.” Kalila senyum-senyum.
Kemudian mereka sama-sama terdiam kembali.
“Nama Dinda sekarang jelek di mata orang, mbak. Nggak di kampus, nggak di organisasi, bahkan di pengajian juga. Mereka mempergunjingkan Dinda.”
“Itu resikomu, dik.” Gadis di samping Kalila itu tertunduk. “Keputusan telah kau buat. Mbak Kalil tidak bisa membantu banyak. Lagipula pertanggungjawabannya nanti sendiri-sendiri. Untung rugi dari keputusanmu itu akan kamu rasakan sendiri.” Kalila membetulkan posisi duduknya yang kurang nyaman. “Kenapa kalian nggak menikah aja sih?”
“Masalahnya, bapak ibu belum mengijinkan Dinda nikah sekarang. Mereka ingin Dinda lulus kemudian kerja dulu. Mbak Kalil tahu sendiri kalau Dinda anak tunggal kan. Paling tidak Dinda jadi satu-satunya tumpuan harapan mereka, yang bisa dibanggakan. Mereka tahu hubungan kami ini.”, terangnya panjang.
Suara dengus nafas.
“Ia datang kesini setiap hari, dik?”, tanya Kalila. Matanya tak bergerak dari sebuah motor lelaki yang terparkir di bawah pohon, tak jauh dari tempatnya duduk. “Selalu masuk kamarmu?”
Orang yang ditanya tak menjawab. Menunduk dalam.
“Dimana dia sekarang?”, lanjut Kalila, “Antar mbak Kalil kesana. Mbak Kalil mau bicara sebentar.”
Dinda tetap tak menjawab tapi ia bergerak dari posisinya, mendekati pintu. Menyilakan Kalila yang kemudian mengikuti di belakangnya dengan hati tak karuan.
Seorang pemuda sedang duduk di lantai kamar. Asyik memainkan tombol-tombol keyboard laptop di depannya.
“Assalamamualaikum”, sapa Kalila
Pemuda yang semula tak menyangka Kalila akan masuk ke kamar Dinda itu terkejut. “Waalaikumsalam.”, balasnya. Masih dengan raut muka terperanjat.
Kalila kemudian mencari posisi duduk tak jauh dari daun pintu yang dibiarkannya terbuka. Di sampingnya, Dinda ikut duduk, takut-takut.
“Saya sudah dengar pergunjingan di luar tentang kalian. Barusan, Dinda juga menjelaskan alasannya kenapa kalian tidak menikah saja.”, Kalila berkata dengan suara bergetar. Masih belum bisa mengontrol hati dan emosinya yang carut marut.
Dua orang itu tertunduk bisu mendengar ucapan Kalila.
“Boleh tanya sesuatu?”, lanjutnya kemudian. Pemuda itu mengangguk pelan.
“Kau mencintai Dinda?” Pemuda itu menggangguk. Kepalanya semakin tertunduk.
Kalila menoleh ke arah Dinda, kembali ke pemuda itu. Lalu ia geleng-geleng kepala.
“Jika kau mencintainya, lantas kenapa kau biarkan nama Dinda menjadi cacat di mata orang?”, tanyanya emosi. “Seorang pemuda yang baik akan selalu menjaga kehormatan wanita yang dicintainya. Ia akan selalu menjaga nama baik wanita itu. Ia tak akan membiarkan wanita tersebut menjadi rusak citranya. Ia tak akan melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan fitnah bagi si wanita.”
Dada Kalila naik turun menahan marah. “Sebenarnya cintamu itu seperti apa? Sebesar apa? Kamu niatkan untuk apa?!”, Kalila melontarkan pertanyaan bertubi-tubi pada si pemuda yang tak berani menatapnya. “Kalau seperti ini ceritanya, bisa kusimpulkan bahwa cintamu itu Cuma nafsu, bukan cinta tulus. Kamu Cuma menuruti hawa nafsumu semata. Sekarang ini, setan sedang terbahak-bahak menyaksikan kalian. Sadar nggak sih?!”
Emosi Kalila memuncak. Mukanya merah. Pori-pori kulitnya membesar. Ia teramat gusar dengan kelakuan pemuda di depannya itu.
“Memangnya kamu bisa memberikan jaminan bahwa kamu tak akan melakukan perbuatan yang tidak-tidak pada Dinda ketika kalian berada dalam kamar ini berdua?”, tanya Kalila masih dalam nada marah. “yakin benar bisa mengalahkan setan-setan yang selalu membisikimu maksiat?”
Si pemuda semakin mengkerut mendengar pertanyaan Kalila. Sementara Dinda terisak kecil di samping Kalila.
“Kalian berdua adalah aktifis dakwah. Harusnya bisa mengatasi masalah seperti ini.” Sebutir air menetes di pipi Kalila. “Kalian tentunya paham benar hukum dari perbuatan yang sedang kalian lakukan sekarang. Pastinya kalian juga tak lupa ketika Alloh melarang setiap manusia untuk mendekati zina. Apakah kalian yakin bisa mengontrol hati kalian hingga tak melakukan zina sedikit pun termasuk zina hati?”
Kalila mengusap air matanya sambil mengatur suaranya yang bergetar. “Dengan kejadian ini, perbuatan kalian, otomatis nama baik dakwah juga ikut rusak. Apa yang bisa kita banggakan, kita sumbangkan untuk kemajuan Islam jika para pelaku dakwah itu sendiri melakukan maksiat? Bagaimana nasib agama yang katanya Rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam ini selanjutnya...?” gurat kesedihan semakin tergambar jelas di wajah Kalila.
“Sekarang, katakan padaku. Seperti apa cintamu pada Dinda?”, tanya Kalila lemah.
Pemuda itu tak menyahut. Ia masih terpekur. Tak berani menatap Kalila.
Lantas, Kalila menatap Dinda. “Kau mencintai pemuda ini, dik? Inikah pemuda terbaik yang kau inginkan?”
Dinda pun tak menyahut. Bahkan semakin terisak.
Kalila mendekati Dinda. Mengecup kedua pipi Dinda dengan sayang. “Jaga dirimu baik-baik, dik. Dinda berhak menentukan keputusan apapun.”
Kemudian Kalila bangkit dari duduknya. Melangkah gontai ke luar, membawa sedih yang terus berkecamuk. Hatinya remuk redam. “Yaa Robb....”, bisiknya perlahan
Dinda masih terisak dalam kamarnya bersama pemuda yang juga bingung terombang-ambing, labil. Sementara setan-setan terus saja menggoda keduanya, lantas tergelak.

Tulisan lain:



1 komentar:

  1. Hmmm...Aktivis dakwah. :)

    ya..ini kisah beberapa kali terjadi di kalangan aktivis dakwah. ada beberapa diantara mereka yang aku kenal, tapi alhamdulillah akhirnya menikah. walau tidak dapat ridho dari jamaah. mereka siap menerima hukuman, demi cinta, katanya..hehe ada ada saja.

    lexi, penulis cerpen ini memang punya talent membuat semua karyanya sekan terjadi padanya.

    jika pada beberapa karyanya yang lain dia menjadi obyek. tapi dalam kisah ini saya merasakan bahwa penulis, sangat kental menjiwai karakter kalila sebagai aktivis dakwah yang penuh komitmen.

    cerita menurut saya berahir pada klimaks yang "menjengkelkan". kenapa tidak? saat kalila marah marah, selesai mengeluarkan isi hatinya, dia tinggalkan dua orang bermasalah itu. menjengkelkan bukan? (bukan....)

    siip lah...karena pesannya sampai, terlebih pada orang orang yang sedang dimabuk asmara sesama aktivis dakwah. (lho...kog?!)

    BalasHapus