3.23.2009

Mengejar Kupu-kupu


Dear Vic,
Tiba-tiba saja aku menemukan sesosok yang sangat mirip denganmu. Caranya tersenyum, menatap, hingga gaya berpakaiannya mengingatkanku padamu. Terlebih waktu itu ia memakai warna kesukaanmu, biru.

Hampir setahun kau menghilang ya, Vic. Sungguh tega. Setelah kau beri impian indah tentang langit biru nan luas. Tanpa pesan pula kau pergi begitu saja. Hilang sudah semua impian itu. Bahkan biduk, yang rencananya akan kita tumpangi bersama, terombang-ambing sendirian, hampir karam seluruhnya.
Susah payah kucari keberadaanmu. Nihil. Cuma hampa yang kudapat. Angin mengabarkan bahwa kau tak mau sekedar menitip salam melaluinya. Aroma tubuhmu pun enggan kau berikan hingga sang bayu bisa menghembuskannya padaku. Kau menghindar, menghilang dari pandanganku.
Dan susah payah pula kucoba melupakanmu. Berat memang bagiku. Melupakan semua yang pernah kita alami bersama. Tapi inilah hidup. Kenyataan yang telah kau pilihkan untukku. Kuhargai keputusanmu. Sesakit apapun akan kujalani jika itu bisa membuatmu bahagia. Yah..meskipun aku sempat berpikiran sempit pada awalnya. Manusiawi kupikir.
Lantas aku menemukannya. Hampir setahun semenjak punggungmu menjauh pergi. Pertemuan yang tak pernah disengaja. Tak pula kuduga sebelumnya. Tanpa kata ia menyapa. Seulas senyum ia tawarkan. Lidahku kelu. Tersisa bahasa beku. Senyum itu…mirip senyumanmu, Vic. Pun sorot matanya seperti milikmu.
Pesonanya membiusku. Membawaku kembali menembus kenangan bersamamu yang sengaja kukubur tanpa nisan hingga ku tak dapat petunjuk untuk menggalinya kembali. Kecamuk perasaan membelit dadaku. Antara seruak bahagia sekaligus sesak dan sakit teringat tentangmu.
Ah, Vic, semua tentangnya mengingatkanku padamu. Nama depan dan panggilannya persis namamu. Ketika obrolan berlanjut lebih dalam, kuketahui bahwa ia juga berasal dari daerah yang sama denganmu. Pemikirannya sama bebas seperti yang selalu kau bagi padaku. Hanya saja ia bukan dirimu. Usianya baru dua puluh lima tahun. Sementara kau dua tahun di atasnya.
Seperti mengejar kupu-kupu, mataku tak bisa lepas darinya. Takut kehilangan kepak sayap pelanginya. Ingin kutangkap dan kuletakkan dalam genggaman. Namun khawatir membuat sisik indahnya jatuh berhamburan ke tanah basah.
Akhirnya kuikuti saja kemana ia kepakkan sayap. Melihatnya berayun dari satu bunga ke bunga lain, dari satu dahan dan daun ke tempat yang lainnya. Tak akan pernah kulepaskan ia dari penglihatanku. Tak akan kupaksa untuk menangkapnya. Dan akan kutunggu hingga ia mau hinggap sendiri di telapak tangganku sehingga aku bisa lebih puas mengagumi keindahannya.
Vic, saat bersamanya, tersadar aku harus melarung semua tentangmu ke laut lepas. Biarlah semua hilang tertelan ombak. Kembali aku harus menyusun serpih retak hati yang semula sempat terbawa angin. Tak akan kupedulikan lagi betapa sulitnya mencari dan menyusun kembali repihan itu. Tak akan pernah sama memang. Barangkali tak akan sempurna lagi bentuknya. Namun aku tak peduli. Sebab ia telah memberiku isyarat untuk menyusuri pantai dan melawan arus ombak bersama.

Tulisan lain:



2 komentar:

  1. mmm...critone kok memelas banget. Ono kupu sing apes, jenenge Vic...(ngono kan maksude..:)
    hhee..gue banget ngono kok...Beh jan puerciss banget karo kisah nyataku....perih-perih,sikil keno beling, kesandung pisan...perih-perih

    BalasHapus
  2. waah..ternyata ada yg mrasa mirip kisahnya ya.udah g usah sedih. udah punya jg ngapain mesti sedih?

    BalasHapus