1.27.2009

Minat Baca Masyarakat Kita

Pepatah lama mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Hanya dengan lembaran-lembaran kecil itu, seseorang bisa menjelajah dunia dan mengetahui seluk beluk tempat lain berdasarkan informasi di dalamnya. Buku dikatakan sebagai sumber ilmu dikarenakan informasi yang terkandung di dalamnya akan bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan media-media informasi lainnya.

Sejak awal mula kertas diciptakan, sebagai bahan utama buku, masyarakat diharapkan gemar membaca untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari situlah sebuah peradaban senantiasa berkembang secara dinamis seiring perkembangan ilmu dan teknologi yang mereka pelajari, salah satunya berasal dari buku yang dibacanya.
Di Indonesia sendiri, budaya baca tulis juga telah ada sejak masa pra sejarah berakhir. Ditandai dengan prasasti-prasasti yang bertuliskan aturan, informasi, dan lain sebagainya dalam bahasa sansekerta. Semenjak itulah masa “pencerahan” di bidang ilmu pengetahuan dimulai, meski tidak semua masyarakatnya langsung mengerti dan paham huruf-huruf yang tertulis di dalamnya. Melainkan berkembang secara perlahan melewati beberapa masa hingga sekarang. Masyarakat secara berkelanjutan mulai belajar membaca dan menulis dengan harapan tidak lagi terjajah oleh kebodohan pikiran yang menyebabkan mereka bisa dengan mudah dikuasai bangsa lain. Itulah sebabnya sejak beberapa dasawarsa silam, pemerintah Indonesia menggalakkan program pengentasan buta aksara dan mendorong minat baca masyarakat untuk membuka dan memperluas wawasan pengetahuan serta sebagai upaya mengejar ketertinggalan dari Negara-negara lain di bidang peningkatan mutu sumber daya manusia.
Namun sayangnya, minat baca di kalangan masyarakat Indonesia saat ini tidaklah setinggi warga Negara lain. Menurut penelitian sebuah lembaga dunia terhadap daya baca di 41 negara, Indonesia berada di peringkat ke-39. Sedangkan menurut laporan Bank Dunia, No 16369-IND dan Studi IEA di Asia Timur, tingkat membaca anak-anak dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Bisa jadi rendahnya minat baca berhubungan dengan rendahnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia sehingga tak ada dana khusus yang bisa dipergunakan untuk membeli buku atau sekedar mengaksesnya. Mirisnya lagi, ada semacam seloroh yang berbunyi : “Bisa makan saja sudah untung.” Sebagai gambaran, pendapatan per kapita warga Singapura pada tahun 2002 sebesar USD 24.000, Thailand USD 6.900, Malaysia USD 9.300, sementara Indonesia hanya USD 3.100.
Berlawanan dengan hipotesis di atas, ternyata ada fenomena menarik terjadi di Bali khususnya. Jika rendahnya minat baca dikatakan sebanding dengan minimnya pendapatan per kapita, lantas kenapa arena pameran elektronik yang hampir setiap bulan digelar di seputaran Jalan Hayam Wuruk – Denpasar, misalnya, selalu ramai dikunjungi masyarakat? Berdasarkan teori, harusnya pameran itu tadi sepi peminat. Kenyataannya justru berkebalikan. Pameran dagang yang digelar hampir satu bulan lamanya, setiap periode, selalu dibanjiri oleh konsumen yang kebanyakan tidak pulang dengan tangan kosong.
Fenomena menarik lainnya bisa kita lihat dari banyaknya kendaraan bermotor dan produk seluler yang banyak beredar di masyarakat Bali. Hampir pasti setiap ada produk terbaru, masyarakat selalu menyerbunya. Contoh lain seperti maraknya pagelaran musik, fashion show banyak dihadiri kalangan muda mudi. Sementara dialog sastra, bedah buku, rumah-rumah buku, perpustaaan sepi pengunjung. Kalau pun ada yang ramai terbatas pada tempat persewaan komik. Hanya segelintir saja generasi muda yang mau menyambangi tempat-tempat buku berkualitas. Itupun dengan resiko akan dicap sebagai pemuda/pemudi kutu buku, kuno dan nggak gaul.
Barangkali peminat buku-buku bacaan daerah lain lebih beruntung daripada di Bali. Mereka yang berada di Jakarta, Surabaya, Malang, dan Yogjakarta masih dimanjakan dengan adanya book fair yang menyediakan buku-buku berkualitas dengan harga murah. Berbeda sekali dengan peminat buku di Bali yang hanya bisa memperoleh buku murah sewaktu toko buku-toko buku dipusat kota pemerintahan mengadakan book fair. Meski buku yang disediakan hanya terbatas. Kebanyakan pula sudah rusak dan tidak bermutu.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa, masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca Koran (23,5%). Penekanannya di sini hanyalah sebatas Koran sebagai media baca dengan mengesampingkan jenis bacaan lain. Padahal, ruang lingkup Koran sebagai bahan bacaan tidaklah seluas buku. Koran hanya menyampaikan cuplikan-cuplikan gagasan, informasi dan pengetahuan. Tidak sedetil informasi yang bisa didapatkan dari membaca buku.
Di samping Koran, televisi dan radio memang memberikan/menjanjian banyak informasi. Sayangnya akhir-akhir ini hamper semua stasiun televisi menayangkan tontonan tidak bermutu. Sebut saja sinetron-sinetron jaman sekarang yang banyak mengekspos kekerasan, klenik dan pergaulan bebas yang semestinya masih bisa difilter oleh adat ketimuran. Sedangkan jumlah informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain sebagainya hanya menempati prosentase kecil. Selain itu, dua media ini cenderung mengajak orang untuk bersikap pasif reaktif, sekedar mendengar dan melihat informasi yang disajikan tanpa mencari tahu kelanjutan serta kelengkapan informasinya.
Sebenarnya pemerintah juga tidak tinggal diam menghadapi permasalah tersebut. Beberapa kebijakan diterapkan untuk menumbuhkan minat baca di masyarakat seperti pengadaan perpustakaan baik permanent dan keliling, pencanangan hari buku setiap 17 Mei, dan lain sebagainya. Namun sepertinya kebijakan tersebut tidak berjalan sesuai dengan perencanaan. Bahkan terkesan hanya asal-asalan seperti terbatasnya ketersediaan buku-buku berkualitas di perpustakaan yang digalakkan, sikap apatis yang ada di lingkungan instansi pemerintahan khususnya yang berkecimpung di dunia perpustakaan dan perbukuan yang seakan tak mau tahu dengan problematika ini sampai hari buku nasional yang hanya diperingati sekedar simbolis tanpa perbaikan nyata.
Rupanya pemerintah lebih banyak bersikap reaktif terhadap kondisi-kondisi di masyarakat. Permintaan bantuan yang diajukan komunitas baca seringkali dianggap sebelah mata. Komunitas ini mereka harapkan selalu memberikan proposal setiap kali mengadakan kegiatan. Jika tidak, mereka dianggap tidak diketahui eksistensinya. Meski komunitas tersebut pernah bertatap muka langsung dan memaparkan program-programnya ke pejabat yang bersangkutan.
Barangkali permintaan laporan dari pemerintah tersebut ada benarnya. Tetapi alangkah lebih baiknya jika memang benar komunitas tersebut pernah memaparkan program kerjanya, meminta bantuan baik materiil maupun immaterial, paling tidak ada follow up lebih lanjut dari instansi bersangkutan. Lebih bagus lagi jika kemudian komunitas tadi selalu dibimbing dan diarahkan untuk ikut serta menunjang program kerja yang diusung oleh pemerintah.
Pada paparan di atas juga disinggung minimnya buku-buku berkualitas di Indonesia. Ada beberapa versi yang sering menjadi argumentasi antara pemerintah, penerbit, dan penulis untuk saling menyalahkan. Pemerintah beranggapan bahwa buku-buku yang disediakan oleh penerbit dan penulis masih jauh dari jumlah yang diharapkan. Sedangkan penerbit menyalahkan pemerintah yang tak kunjung menurunkan pajak buku sehingga harganya bisa dijangkau oleh masyarakat serta sedikitnya konsumen buku di Indonesia saat ini. Sementara kebanyakan penulis menyalahkan keduanya. Sebenarnya saat ini banyak bermunculan penulis-penulis baru. Namun sebagian besar mengeluh dan mengaku karya mereka tidak diapresiasi oleh penerbit.
Sebenarnya tiga komponen tadi plus masyarakat merupakan modal utama untuk meningkatkan minat baca di Indonesia. Semuanya mempunyai andil sendiri-sendiri. Tergantung kemauan untuk ikut berperan serta mengatasi problematika minat baca di Indonesia atau tidak.
Pemerintah sebisa mungkin lebih bijak dan tidak hanya “meratapi” kurangnya minat baca masyarakat dengan hanya berbicara di hadapan public tentang apa yang seharusnya dilakukan. Pemerintah bisa lebih kooperatif dengan elemen lain untuk menurunan pajak buku, memberikan subsidi, senantiasa mendorong perkembangan industri buku dan geliat para penulis bekerja sama dengan penerbit.
Di sisi lain, penerbit supaya lebih mengapresiasi karya-karya para penulis dan menerbitkan lebih banyak lagi buku-buku berkualitas. Sedangkan penulis diharapkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas karya-karya mereka. Sebagai penentu akhir, masyarakat yang merupakan pangsa produk kerjasama antara pemerintah, penerbit dan penulis ini diharapkan untuk senantiasa bangga dengan budaya membaca buku serta ikut serta meningkatkan minat baca di Indonesia. Pada puncaknya diharapkan sumber daya manusia Indonesia menjadi lebih baik sebagai dampak meningkatnya minat baca di kalangan masyarakat.
Posted on Koran Bali, Juli 2007

Tulisan lain:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar