Tapi pernah nggak sih ada yang berpikir bagaimana dengan daerah selain icon-icon tersebut? Kalau saja ada yang sempat berpikir seperti itu atau mungkin melihatnya secara langsung, barangkali paradigma seperti di atas akan menipis.
Beberapa waktu lalu, saya memimpin sebuah ekspedisi menyusuri kampung-kampung muslim di pelosok Bali untuk melakukan pemetaan dhuafa yang diadakan oleh sebuah lembaga amil zakat terbesar di pulau Dewata. Tau sendiri lah kalau Bali itu memang dihuni oleh mayoritas saudara kita yang beragama Hindu. Ternyata ada lho saudara muslim kita yang tinggal di Bali secara berkelompok di tempat yang bisa dikatakan sangat terpencil. Hah?? Masa sih??
Salah satu tempat yang saya kunjungi bersama empat tim akhwat saya adalah kampung muslim Batu Gambir. Terletak di wilayah kabupaten Buleleng. Sekitar 4 jam perjalanan dari kota Denpasar. Tetapi waktu itu saya tidak mengambil starting point dari Denpasar, melainkan dari Singaraja, ibu kota kabupaten Buleleng, dimana saya menginap di salah satu rumah penduduk, diantara rentetan ekspedisi saya yang ketika itu berlangsung selama 3 bulan.
Untuk memasuki kampung Batu Gambir, saya bersama tim harus melewati jalan, yang meskipun beraspal, namun tanjakan dan tikungannya, subhanallah, sangatlah curam, lebih dari 45o. Beberapa kali kami harus menahan nafas karena tegang. Berharap supaya “Si Merah Hati”, mobil yang membawa kami kuat sampai di puncaknya.
Memasuki pintu gerbang kampung tersebut, kami disambut hujan deras disertai angin. Payung yang kami bawa tak sanggup menjaga baju kami agar tetap kering. Tetapi senyum para warga mampu menghangatan suasana. Kami disambut dengan ramah dan dipersilahkan untuk berteduh di rumah salah satu warga.
Sekitar setengah jam kemudian, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Hujan belum juga berhenti. Apa mau dikata, kami harus menerobosnya atau kami hanya akan mendapatkan kelelahan semata.
Dengan menggunakan payung dan jas hujan seadanya, kami mulai menuruni jalanan kampung. Jangan dikira jalannya beraspal seperti tadi. Malah yang kami lewati adalah jalan setapak menembus ladang jagung dan perkebunan rakyat sejauh kurang lebih 1,5 km. Hujan membuat jalanan tersebut becek, licin dan berlumpur. Kami harus ekstra hati-hati karena beberapa kali terpeleset dan meluncur ke bawah. Baju basah dan belepotan lumpur tak lagi kami hiraukan.
Tempat yang kami tuju pertama kali adalah sebuah masjid yang belum selesai pengerjaannya. Sampai sekarang pun warga setempat masih mencari donasi untuk penyelesaiannya. Ketika kami sampai, warga bergegas berdatangan dengan tingah polos mereka. Busana muslim paling bagus dan rapi, meskipun sederhana sengaja dipakai untuk menghormati kami.
Awalnya kami sungkan untuk masuk ke dalam ketika dipersilahkan. Mengingat keadaan kami yang hanya akan membuat kotor seluruh masjid. Namun lagi-lagi senyum tulus mereka mencairkan suasana. Kami tak ragu lagi dengan keramahan mereka dan mulai berbincang-bincang sambil duduk di dalam masjid. Makanan tradisional ala Batu Gambir pun disuguhkan. Kami serasa dianggap sebagai tamu kehormatan dengan jamuan yang mereka sediakan. Malu-malu tapi mau. Hehehe...
Merasa cukup beristirahat sejenak dan mengumpulkan tenaga, kami pun mulai mendata warga kampung Batu Gambir. Kami berlima berpencar menuju ke rumah-rumah yang letaknya saling berjauhan dengan diantar beberapa warga. Lagi-lagi harus berjalan kaki.
Warga kampung Batu Gambir sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sebagian besar bekerja sebagai petani penggarap di ladang atau kebun yang di sebagian tanahnya mereka dirikan rumah sederhana untuk mereka tinggali. Tentu saja setelah mendapat ijin dari pemilik tanah. Sebagian besar rumah terbuat dari bilik bambu dan beratap rumbia dan tanpa penyekat antara ruangan satu dengan lainnya. Ini merupakan cara terhemat agar ketika mereka “diusir” oleh pemilik tanah nanti, mereka tidak terlalu merisaukan rumah sederhana mereka.
Hanya 15% penduduknya yang memiliki tanah sendiri. Mereka yang beruntung ini membangun rumah berdinding batu bata buatan sendiri yang prosesnya tidak melalui pembakaran tetapi hanya dikeringkan di bawah sinar matahari. Bahan perekatnya pun bukan semen melainkan tanah liat halus dicampur dengan air.
Rata-rata penduduk tidak memiliki sumber air sendiri sehingga penduduk harus antri mengambil air di pemandian umum di dekat masjid yang cukup jauh dari pemukiman masing-masing. Apalagi jika musim kemarau melanda, tiap-tiap rumah hanya mendapat jatah dua ember setiap harinya dan harus antri sampai tengah malam. Kamar mandi pun seadanya hanya bilik kecil di sebelah rumah yang ditutupi lembaran-lembaran karung dan dilengkapi sebuah bak mandi.
Seperti dikemukakan di atas, warga desa kebanyakan adalah petani penggarap dengan bagi hasil 2:1. Maksudnya adalah 2 bagian dari setiap panenan merupakan hak pemilik tanah dan 1 bagian lagi menjadi milik petani. Itu pun belum termasuk biaya selama masa tanam yang harus ditanggung sendiri oleh petani.
Mereka diberi kebebasan untuk menanami kebun tersebut. Hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari dimana makanan pokok mereka berupa singkong dicampur beras, jika ada. Hasil kebun yang lain dijual ke pasar dengan harga yang sangat murah. Tidak sesuai dengan kerja keras selama membawa panenan tersebut ke pasar.
Karena berada di daerah terpencil, kesehatan menjadi kendala besar di desa ini. Ketika ada yang sakit parah dan harus segera dirawat ke rumah sakit atau orang akan melahirkan, biasanya si sakit akan ditandu menyusuri jalan setapak naik turun. Medan yang berat semakin menambah kesulitan ketika menangani si sakit hingga pernah terjadi orang yang sakit meninggal di perjalanan atau mengalami koma karena kehabisan darah. Bisa dibayangkan betapa susahnya tinggal di sana.
Masalah lain adalah ketidakmampuan masyarakat untuk membayar biaya berobat. Mereka seringkali harus hutang pada puskesmas atau dokter yang didatangi. Kebanyakan dari mereka tidak mendapat kartu sehat untuk berobat gratis dari pemerintah atau jika punya biasanya ditolak oleh tenaga medis dengan alasan tidak terdaftar. Kami sempat dibuat sedih dan berpikir juga ketika itu ada salah seorang warga yang sudah memasuki masa melahirkan. Sementara rumahnya jauh dari tetangga dan ia pun sedang tidak didampingi oleh sang suami. Tapi apa boleh buat. Kami pun tidak mempunyai solusi yang pas untuk mereka.
Pendataan selesai, kami kembali berkumpul di masjid tadi. Masjid ini merupakan hasil pembangunan swadaya masyarakat dimana seluruh KK dimintai sumbangan baik dana maupun tenaga untuk pengerjaannya. Baik lelaki maupun perempuan gotong rotong mendirikan sarana ibadah tersebut. Mulai dari pembukaan tanah sampai ke tahap pembangunannya. Tinggal sentuhan akhir berupa corong untuk menyiarkan ketika adzan berkumandang dan juga aliran listrik yang sangat minim di desa ini. Untuk keperluan masjid di bawah, warga harus menyalur listrik dari atas. Sampai di bawah, arus listrik tinggal 5 watt karena termakan oleh panjangnya beban kabel. Sedangkan untuk masyarakat sendiri, setiap malamnya menggunakan lampu minyak untuk penerangan.
Ada yang membuat kami terenyuh sekaligus sangat bersyukur terhadap setiap nikmat Allah yang diberikan. Kami lebih beruntung dari mereka karena hampir setiap kebutuhan kami tersedia di kota, meskipun kadang-kadang tak ada uang untuk membelinya. (Hehehe...) Dari mereka pula kami belajar untuk terus berjuang tanpa kenal putus asa demi sebuah kemajuan. Setiap senyuman dan keikhlasan dalam menghadapi sebuah kesulitan akan memberikan kekuatan tersendiri.
Hari pun beranjak sore. Kami harus segera melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya. Doa tulus dari mereka terdengar sedemikian indahnya di telinga kami. rangkaian doa balasan pun kami panjatkan semoga mereka mendapatkan penghidupan yang lebih layak di kemudian hari atau paling tidak mendapat kebahagiaan dalam menjalani hari-hari. Dan semoga saya bersama tim kuat untuk berjalan kaki kembali ke atas menuju “Si Merah Hati”. Heh...heh..heh..capek...
Posted on Annida, August 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar